top of page

Beda KETUA dan KEPALA

Oleh David Tulaar

Dalam kosakata sehari-hari kita mengenal istilah Kepala Negara, Kepala Daerah, Kepala Dinas, Kepala Sekolah, Kepala Kejaksaan. Tapi pernahkah kita mendengar sebutan Ketua Negara, Ketua Daerah, Ketua Dinas, Ketua Sekolah, Ketua Kejaksaan? Tidak pernah!

Begitu juga sebaliknya. Kita mengenal sebutan Ketua BPMS, Ketua BPMW, Ketua BPMJ, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua DPR, Ketua KPU. Tetapi tidak pernah kita mendengar istilah Kepala BPMS, Kepala MA, Kepala DPR, Kepala KPU. Mengapa demikian?

Kepala jelas berbeda dari Ketua. Kepala mempunyai bawahan, yang sesuai aturannya masing-masing harus tunduk pada perintah dan keputusan kepalanya. Kepala adalah orang yang berada paling atas dalam satu hirarki struktural. Kekuasaannya mengikat. Istilahnya, kepala memegang komando.

Berbeda dengan Ketua. Ketua bukan puncak dari satu hirarki struktural. Ketua adalah satu fungsi dalam satu struktur organisasi atau kelembagaan. Ketua tidak mempunyai bawahan, melainkan anggota. Ketua biasanya dipilih dari antara para anggota dan oleh para anggota. Kedudukannya mengikuti prinsip “primus inter pares,” artinya: yang terkemuka di antara yang sederajat. Ketua adalah bagian dari kepemimpinan kolektif, sehingga keputusannya juga bersifat kolektif. Kekuasaannya tidak mengikat, seperti pada Kepala.

Contoh dari lembaga yudikatif mungkin dapat lebih menjelaskan perbedaan ini. Kejaksaan (Kajari, Kajati) dipimpin oleh seorang KEPALA, sedangkan pengadilan (negeri, tinggi) dipimpin oleh seorang KETUA. Kepala Kejaksanaan memegang komando. Bawahan dalam hirarki tunduk pada keputusan kepala. Sedangkan Ketua Pengadilan hanyalah salah satu di antara para hakim yang sederajat.

Perbedaan ini juga tampak misalnya dalam prosedur pengambilan keputusan. Seorang KEPALA tidak akan mengumpulkan para bawahannya untuk membuat keputusan lewat pemungutan suara (voting). Keputusan KEPALA dijalankan begitu saja oleh bawahannya.

Sebaliknya, seorang KETUA mengambil keputusan dalam musyawarah dengan rekan-rekannya secara kolektif. Jika musyawarah tidak tercapai, dapat diikuti dengan “voting.” Cara ini lumrah pada lembaga dan institusi serta organisasi yang dipimpin oleh seorang KETUA, seperti MA, MK, DPR, termasuk GMIM (BPMS, BPMW, BPMJ, bahkan persidangannya di semua aras). Artinya, seorang ketua selalu mengandalkan model kepemimpinan kolektif.

Bagaimana dengan keadaan di GMIM?

Di GMIM sering ada kerancuan. Berikut ini satu contoh dari kerancuan yang dimaksud dan implikasinya bagi kehidupan organisasi GMIM.

Belum lama ini ada seorang pendeta yang bercerita kepada saya mengenai SK mutasi yang ia terima, padahal ia belum lama bertugas sebagai Ketua BPMJ di jemaat. Karena merasa tidak ada alasan ia dimutasikan, ia menghubungi salah seorang Wakil Ketua BPMS. Anehnya, sang WAKET ini menganjurkan dia menghubungi langsung KETUA BPMS.

Apa yang terjadi di sini? Apakah sang WAKET ini menganggap dirinya adalah BAWAHAN dari KETUA BPMS? Mengapa sang WAKET yang adalah bagian integral dari BPMS tidak dapat memberi jawaban? Kalau begitu, bagaimanakah proses pengambilan keputusan mutasi pendeta ini? Siapakah yang memutuskannya?

Secara tidak langsung sang WAKET telah menyamakan KETUA BPMS dengan KEPALA BPMS.

Ekklesiologi GMIM jelas: gereja hanya mempunyai satu kepala, yaitu Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja itu sendiri. Gereja yang ber-KEPALA tunggal ini mempunyai banyak KETUA. Namun para KETUA ini hanyalah seperti moderator, mengikuti prinsip “primus inter pares.”

Apakah cerita di atas ini adalah bukti dari pengaruh sistem birokrasi KEPALA yang masuk ke dalam sistem organisasi GMIM atau bukan, sulit dikatakan. Namun organisasi gereja kita kelihatannya sedang beranjak dari prinsip KETUA sebagai “primus inter pares” dan kepemimpinan kolektif menuju pada kepemimpinan mirip KEPALA. Hal ini bukan hanya di aras BPMS. Bahkan di tingkat wilayah dan jemaat pun seorang KETUA kadang sudah menjelma sebagai seorang KEPALA. Keputusan pribadinya dianggap mengikat, meskipun tanpa didukung oleh suara mayoritas Majelis Jemaat.

Tata Gereja 2007 (dan yang sesudahnya) rupanya menjadi salah satu alasan pergeseran ini.

Seperti disebutkan di atas, KETUA biasanya dipilih oleh anggota. Kenyataannya Ketua BPMJ dan Ketua BPMW ditetapkan oleh BPMS.

Oleh karena itu, sementara Wakil Ketua, Sekertaris dan Bendahara BPMJ dipilih langsung oleh para PELSUS dalam Majelis Jemaat, Ketua BPMJ adalah pendeta yang sudah ditetapkan oleh BPMS.

Seharusnya, BPMJ adalah fungsi eksekutif dari Sidang Majelis Jemaat yang merupakan badan pengambilan keputusan tertinggi di tingkat jemaat. Sebagai badan eksekutif BPMJ bertanggung jawab kepada Sidang Majelis Jemaat. Anehnya, Sidang Majelis Jemaat Itu pun dipimpin oleh Ketua BPMJ. Sebenarnya pada posisi ini harus ada nomenklaturnya sendiri, yaitu Ketua Sidang Majelis Jemaat. Namun fungsi ini tidak diatur oleh TG. Sehingga, Ketua BPMJ adalah juga Ketua Sidang MJ. Bagaimana mungkin? BPMJ dipilih oleh Sidang Majelis Jemaat, artinya bertanggung jawab kepada sidang yang memilihnya. Tapi ada ganjalan. Ketua BPMJ tidak dipilih oleh Sidang Majelis Jemaat, jadi tidak harus bertanggung jawab kepada sidang.

Dua istilah dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah dapat dipakai sebagai analogi untuk menjelaskan kerancuan ini, yaitu DESENTRALISASI dan DEKONSENTRASI.

Desentralisasi merujuk pada pemimpin daerah otonom seperti Kabupaten/Kota dan Desa. Dekonsentrasi merujuk pada pemimpin daerah yang merupakan perpanjangan tangan pemerintahan yang lebih tinggi, seperti Gubernur, Camat dan Kepala Kelurahan.

Di Jemaat, Majelis Jemaat sifatnya otonom (desentralisasi); begitu juga dgn BPMJ selain Ketua. Ketua BPMJ sendiri adalah perpanjangan tangan dari BPMS.

Pendeta yang adalah Ketua BPMJ seharusnya adalah bagian dari otonomi jemaat. Kenyataannya, dalam banyak keputusan kontroversial, ia cenderung berpihak kepada BPMS daripada kepada Majelis Jemaatnya.

Apakah sesungguhnya sistem yang dianut oleh gereja kita? Tidak adakah orang pintar di GMIM ini yang memperhatikan kerancuan ini? Adakah contoh organisasi yang Badan Eksekutifnya yang memimpin persidangan Badan Legislatifnya? Di mana ada Presiden memimpin Sidang Umum MPR?

SMS dipimpin oleh BPMS sebenarnya adalah bukti kerancuan organisatoris GMIM. Tapi biarlah ini menjadi topik bahasan selanjutnya.

Soli Deo Gloria!

bottom of page